`Digital Divide` |
---|
sumber: www.ristek.go.id | |
Keresahan ini terlihat jelas dalam konferensi pers komunitas telematika di Jakarta pekan lalu. Salah seorang penggiatnya, Roy Suryo, melihat karena usulan pembentukan departemen penerangan ditolak lalu nasib depar temen baru lainnya juga disamakan. "Rupanya ada yang memakai isti lah bubar satu-bubar semua," kata Roy. Roy melihat ada unsur kesengajaan untuk `mendeppen`-kan telematika. Ironisnya, menurut dia, kini ada kabar muncul departemen komunikasi an informasi yang jelas berbeda dengan departemen telematika usulan komunitas. Bukti penyamaan departemen penerangan-departemen telemat ika ditemukan Roy misalnya dari sebuah spanduk di Surabaya. "Isinya adalah pernyataan menolak kembalinya deppen-departemen telematika karena akan memberangus pers," ungkap pengajar di UGM ini. Padahal menurutnya istilah telematika di Indonesia sekarang ini meru pakan kata baru. Diambil dari akronim terjemahan ICT (Information and Communication Technology) yang berawal dari terminologi komputer. Telematika bukanlah kata terjemahan langsung dari kata serupa seperti telematique, telematics, dan lainnya karena berbeda arti. "Persis seperti mailing list Genetika yang artinya Gerakan Nasional Telemati ka dan tidak ada hubungannya dengan genetika dalam ilmu biologi," tu turnya. Roy menyatakan bahwa tujuan usulan pembentukan departemen tele matika adalah agar penetrasi dan densitas ICT di Indonesia bisa meningkat. Tujuan ini dilatarbelakangi kondisi minimnya pengguna telepon yaitu 3,5 persen pemakai telepon (6,5 juta jiwa) dan pemakai Internet (hanya 1 persen atau 1,9 juta jiwa). Sayangnya, kata dia, jumlah yang minim itu dipakai sebagai alasan beberapa kalangan skeptis tentang belum perlunya seorang menteri egara apalagi departemen telematika. Sedangkan pengamat teknologi informasi, Mas Wigrantoro RS, lebih melihat pentingnya departemen telematika dari sudut bisnis. Dia menyatakan pemerintah berfungsi mencegah timbulnya market failure. "Market failure adalah keadaan di mana pasar atau bisnis swasta tidak mau masuk ke telematika atau menyediakan jasa di bidang itu karena tidak menguntungkan," kata Wigrantoro yang mengaku netral dalam pro-kontra departemen telematika. Menurut dia perlu diteliti apakah market failure ini sudah terjadi dalam bidang telematika. Kalau tidak ada berarti pemerintah tidak usah mengurusi telematika dan departemennya juga tidak diperlukan. Begitu pula kalau yang terjadi adalah sebaliknya. Wigrantoro mengakui masih minimnya penetrasi Internet di daerah. Di sinilah, tambahnya, peran pemerintah memfasilitasi agar swasta bisa masuk ke berbagai pelosok. "Pendapat bahwa Internet tidak perlu diatur memang betul tapi pihak yang tidak menguasai Internet juga perlu dibantu. Yang mengatur bukan pemerintah, pemerintah hanya memfasilitasi supaya komunitas Internet menciptakan aturan," tegas Wigrantoro. Sedangkan Rudy Rusdiah selaku ketua Asosiasi Warnet Indonesia (Awari) tegas menyatakan perlu ada wadah yang menjalankan regulasi di bidang telematika secara terpadu. Bila tidak, dunia usaha akan kebingungan. "Misalnya soal Internet atau digital e-commerce, sebenarnya harus diurus ke Depperindag atau Dephub," tanya Rudy. Dalam pandangannya, hal yang lebih penting dibenahi sekarang adalah kesenjangan visi. Rudy mencontohkan, di saat ketua aplikasi Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) membicarakan rencana pembangunan 500 ribu Sentra Informasi Bisnis Masyarakat (SIBM), di lain pihak Ditjen Postel malah menaikkan tarif telepon. Ditambah misalnya tentang jumlah `telepon tidur` yang dikeluarkan Ditjen Postel yang lalu dibantah PT Telkom sendiri. Dinilai boros Praktisi komunikasi UI Dr Alexander Rusli menilai gagasan telematika menjadi sebuah departemen akan menimbulkan pemborosan dan menguras keuangan negara. "Gagasan ini mesti ditolak karena pembentukan sebuah departemen yang dipimpin seorang menteri akan memerlukan anggaran yang besar," kata Alexander Rusli kepada wartawan akhir pekan lalu di Jakarta. Menurut Alexander yang juga Direktur IT Comm ini, gagasan tersebut muncul lebih menggunakan pendekatan pada aspek proyek ketimbang pada penyerapan informasi dan telekomunikasi yang dibutuhkan masyarakat. Masalah lainnya, kata dia, akan terjadi overlapping atau tumpang tindih karena setiap departemen akan mengajukan anggaran masing-masing untuk mengembangkan teknologi dan informasi. "Apabila telematika memiliki departemen tersendiri akan sangat mengandung risiko, misalnya terjadi tumpang tindih dengan departemen lain. Apalagi jika yang memegang jabatan tersebut orang yang tidak memiliki kompetensi pada bidangnya," papar doktor jebolan dari Curtin University, Australia, ini. Menurut Alexander, infokom yang selama ini berkembang pesat di Indonesia sudah cukup tepat melangkah ke arah industri penunjang, maka pemerintah hanya memberikan fasilitas kemudahan kepada para pelaku bisnis, tanpa mempersulit bagi pelaku bisnis dengan menciptakan birokrasi pemerintahan baru. Dikatakannya, peran yang diharapkan industri telematika adalah penciptaan iklim usaha yang sehat dan insentif untuk memajukan usaha. "Jadi pemerintah tidak perlu menentukan apa yang harus dilakukan bagi kalangan industri, sebaliknya pemerintah memberi kemudahan misalnya melalui pajak," kata Alexander. Walaupun pengajar Komunikasi UI ini menolak terbentuknya departemen telematika tetapi dia mengusulkan kepada pemerintah agar memiliki visi dan misi yang jelas dalam pembangunan teknologi informasi dan telekomunikasi. di Indonesia, Alexander mengatakan masih sedikit orang-orang yang berkiprah di bidang tersebut. "Sebabnya itu tadi, pemerintah belum memiliki visi yang jelas dalam pendidikan dan pembangunan teknologi kita, jadi kalau Anda lihat pakar-pakar telematika orangnya ya itu-itu saja yang muncul, " ujarnya. (mediaindonesia) |
Digital Divide ternyata karena Kurangnya Demand dan Perangkat yang Kompleks
Telah terbukti di banyak negara maju dan berkembang bahwa tingginya penetrasi Broadband menjadi pendorong kemajuan ekonomi suatu negara. Di negara-negara maju tingkat penetrasi Broadband mencapai diatas 50%, namun selanjutnya pertumbuhannya menurun karena masalah kurangnya minat dari kelompok minoritas dan kebutuhan pengetahuan yang relatif tinggi untuk dapat mengoperasikan perangkat broadband yang kompleks.
Hal tersebut diatas terungkap sebagai hasil study Konsultan Ovum, dimana untuk menjembatanai Digital Divide di suatu negara diperlukan strategi sebagai berikut:
1. Kurangi kerumitan teknologi Broadband agar masyarakat awam mau memanfaatkan layanan Broadband, melalui penelitan bersama antara Perusahaan Komersiil, Non-Profit dan Sektor Publik untuk menciptakan produk perangkat dan layanan Broadband yang user friendly.
2. Masukkan layanan Broadband dalam Program-program Pemberdayaan Sosial dan Ekonomi Pemerintah, seperti pendidikan, penyediaan lapangan kerja, kesehatan dan lainnya untuk memberdayakan masyarakat (di-embedded dalam program).
3. Penyedia layanan Broadband perlu memperhatikan relevansi layanannya dengan kebutuhan komunitas, dari pemasarannya sampai aktivitas “akar-rumput” masyarakat. melaui kerjasama Public-Private Partnership (PPP). sumber : http://mastel.wordpress.com/category/digital-divide
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusisi dan konsep dari artikel di atas lumayan padat, sehingga pembaca dapat lebih jelas mengerti apa yang di ulas oleh pembahasan di atas yaitu telematika digital divide. dengan menampilkan pengertian itu sendiri serta adanya kalimat langsung yang merupakan tambahan dari artikel untuk memperlengkap blog kalimat.
BalasHapus